Hari Belajar KAIL (HBK) bulan ini bertema “Mengambil Pilihan Pangan Berkesadaran”. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2018 ini menghadirkan dua narasumber utama: Susen Suryanto dari PIKPL Semanggi dan Angga Dwiartama, seorang dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hayati, Institut Teknologi Bandung. Peserta dari kegiatan ini dihadiri oleh 9 orang peserta. Tidak kurang dari 3 relawan KAIL mendukung kegiatan ini , yaitu Fikri Amri dan Melly Amalia sebagai notulis serta Umbu Justin sebagai dokumentasi foto. Sedangkan 5 orang staf KAIL turut hadir sebagai relawan pada hari tersebut.
Foto bersama dengan peserta dan narasumber
Pembicara pertama, Susen Suryanto, mengawali kegiatan belajar bersama ini dengan membawakan topik “Kedaulatan Pangan Keluarga”. Ia memulai presentasinya dengan mengangkat hubungan pangan dengan kesehatan manusia. Pangan dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan berkembang. Namun, agar mencapai fungsinya yang optimal dan demi tercapainya kesehatan manusia yang mengonsumsi pangan tersebut, maka penting sekali untuk memperhatikan bagaimana memproses suatu makanan.
Susen juga mengajak peserta untuk mempertanyakan tentang kemandirian manusia dalam mengadakan bahan pangan itu dalam hidup kesehariannya. Apakah manusia, khususnya masyarakat di Indonesia telah berdaulat pangan? Apakah bedanya antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan? Sesungguhnya, suatu masyarakat mampu mencapai kedaulatan pangannya apabila ia mampu mengendalikan, mengadakan sendiri pangannya sejak dari pengadaan benih tanaman pangan itu sendiri.
Narasumber Susen Suryanto
Namun, pengadaan bahan pangan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh keaslian lingkungan asal dari tanaman pangan. Sehingga tanaman pangan yang khas tumbuh di suatu daerah, belum tentu memiliki rasa yang sama apabila ditumbuhkan di daerah lain. Susen memberi contoh ubi cilembu yang merupakan tanaman khas dari desa Cilembu, di kaki gunung Kareumbi, Jawa Barat. Apabila ubi cilembu ditumbuhkan di Papua misalnya, maka rasa manis ubi yang ditanam di Papua, tidak sama dengan rasa manis ubi yang tumbuh di daerah asalnya. Oleh karena itu, Susen mempercayai bahwa faktor genetik, lingkungan dan interaksi antara genetik dan lingkungan sangat besar pengaruhnya pada rasa dan penampilan suatu bahan pangan.
Susen menutup presentasinya dengan menekankan kepada pentingnya pertanian dalam seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu, jika selama ini para petani dan bidang pertanian itu sendiri, seolah-olah menjadi inferior dibandingkan aspek-aspek kehidupan lainnya, maka perlu untuk mengubah paradigma tersebut.
Materi belajar yang kedua pada HBK ini dibawakan oleh Angga Dwiartama. Angga membawakan materi berjudul “Menelusuri Jejak Pangan Kita”. Ia mengawali materinya dengan ajakan kepada para peserta untuk merefleksikan tentang makanan yang dikonsumsi selama satu minggu terakhir. Apa saja yang sudah dimakan? Dari mana makanan tersebut didapat? Dari mana penjual mendapatkan makanan tersebut? Sejauh mana kita bisa menelusuri rantai pangan kita sendiri?
Makalah yang dibawakan Angga ini mengacu pada buku yang ditulis oleh Michael Carolan, berjudul “No One Eats Alone”. Michael meyakini bahwa, ketika seseorang makan, ia tidak makan sendirian. Ia berinteraksi dengan seluruh pihak yang terlibat dalam proses pengadaan bahan pangan tersebut.
Narasumber Angga Dwiartama
Maka, pangan itu sendiri memiliki sebuah sistem. Sebuah sistem pangan adalah sistem yang menghubungkan pelaku pangan mulai dari pihak yang memproduksi, pihak yang memasarkan hasil produksi hingga kepada pihak yang mengonsumsi pangan tersebut.
Lebih jauh lagi, Angga mengajak untuk turut mempertimbangkan satu faktor dalam sistem pangan, yaitu ecological footprint (jejak ekologi) di dalam sistem pangan kita. Jejak ekologi di dalam sistem pangan mengukur dampak langsung serta tidak langsung dari mekanisme pengadaan bahan pangan yang dikonversi ke dalam jumlah karbon yang dihasilkan dari pengadaan pangan tersebut. Angga memberi contoh perbandingan bahan pangan yang diperoleh dari pasar lokal terdekat dengan bahan pangan yang diperoleh secara impor yang dibeli di supermarket yang jaraknya sekian kilometer jauhnya dari rumah kita sendiri. Jejak karbon yang dihasilkan dari bahan pangan impor tentunya lebih besar daripada jejak karbon yang dihasilkan dari bahan pangan yang dibeli di pasar lokal terdekat. Bahan pangan yang diambil dari kebun sendiri, tentu tidak memiliki jejak karbon sama sekali.
Paralel dengan pertimbangan jejak ekologi dalam pengadaan pangan, terdapat pula perhitungan Life Cycle Analysis (LCA) sebuah produk pangan. Dalam LCA ini, per unit produk diukur dampaknya terhadap lingkungan dari pengadaan sampai setelah pemakaian.
Mempertimbangkan jejak ekologi serta LCA dalam pengadaan bahan pangan, kita tentu akan lebih mempertimbangkan lokalitas makanan yang kita peroleh. Dengan memilih pangan lokal, maka terdapat beberapa kontribusi kita terhadap ekologi (mengurangi terbentuknya karbon di udara) dan secara ekonomi kita lebih memenangkan sistem ekonomi moral dibandingkan ekonomi pasar. Angga menutup materinya dengan memaparkan aktor-aktor yang sudah bergerak di bidang pangan lokal dengan jejak ekologis rendah. Ia
Materi yang dibawakan oleh kedua narasumber ini mengundang banyak pendapat dan pertanyaan. Dalam sesi diskusi dan tanya jawab, yang sedianya berlangsung kurang dari setengah jam, akhirnya memanjang sampai lebih dari satu jam. Diskusi berlangsung hangat di mana semua yang hadir dapat bertanya dan memberikan pendapat. Topik-topik sistem pangan yang muncul dalam diskusi antara lain adalah indikator carbon footprint, dampak lingkungan, genetic bank, tanaman perennial, kalender pangan, dan lain-lain.
Sesi diskusi dan tanya jawab berlangsung dengan hangat
Sesi diskusi dan tanya jawab diakhiri dengan pernyataan yang membawa perenungan mendalam dari Susen, tentang betapa kayanya keanekaragaman sumber daya alam dan pengetahuan pangan di Indonesia. Namun saat ini kekayaan tersebut masih kurang diolah oleh generasi masa kini. Putusnya kekayaan dan pengetahuan tersebut penting untuk disambung kembali. Tugas tersebut berada di pundak generasi muda Indonesia masa kini.
Setelah sesi tanya jawab, peserta HBK mulai praktek menubuhkan pilihan pangan berkesadaran dengan merumuskan menu makanan dan cara pengolahan, yang bahannya akan dipanen bersama langsung dari kebun KAIL. Para peserta dibagi ke dalam dua kelompok. Setiap kelompok akan membuat pilihan menu: kelompok satu membuat makanan ringan dan minuman segar, serta kelompok dua membuat pendamping nasi.
Merumuskan dan mempresentasikan menu makanan yang akan dibuat
Hasil perumusan menu pun dipresentasikan antar dua kelompok, yaitu antara lain:
1. Kelompok makanan ringan dan minuman segar, membuat: sop buah beri, setup buah jambu, wedang sereh-jahe, talas dan singkong panggang, serta sambal cabe-bawang putih-bawang merah-daun jeruk-markisa
2. Kelompok makanan pendamping nasi, yaitu : telur bebek dadar dengan daun ginseng dan kenikir, saus tomat dari campuran papaya, tomat ceri, markisa, dan talas), perkedel talas, serta tumis pepaya muda dan bunga pepaya.
Selama 2.5 jam, dari pukul 15:00 - 17:30 para peserta, staf dan relawan yang hadir melakukan panen di kebun KAIL, kemudian mengolahnya menjadi makanan dan minuman yang siap disantap bersama. Keramahtamahan dan diskusi lebih lanjut pun terjalin di sesi panen, pengolahan, hingga santap bersama.
Sesi panen dan mengolah pangan bersama
Refleksi akhir setelah santap bersama-sama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar